Bandoengmooi Bersama ISBI Bandung Melakukan Pewarisan Seni Longser Ditengah Masifnya Budaya Digital

Komunitas budaya Bandoengmooi Kota Cimahi menggelar pertunjukan seni Longser, teater tradisional Jawa Barat berjudul Nyai Mastiti karya/sutradara Hermana HMT dan penata musik Selamet Oki Pratomo, Jumat 10 Maret 2023 pukul 15.30 dan 20.00 wib. di Gedung Kesenian Dewi Asri Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Jalan Buah Batu No, 212 Bandung.

Sutradara Longser Bandoengmooi, Hermana HMT mengatakan, pertunjukan ini merupakan program kerja sama Yayasan Kebudayaan Bandoeng Mooi dengan ISBI Bandung dalam upaya melakukan pewarisan, sekaligus mensosialisasikan dan memberi ruang apresiasi seni Longser pada masyarakat yang lebih luas.

“Bandoengmooi sejak berdiri tahun 1996 tetap menjaga eksistensi Longser dengan melakukan pewarisan Longser kepada masyarakat dan mewacanakan dalam bentuk pelatihan atau workshop, gelar pertunjukan secara mandiri dan undangan dari masyarakat atau instansi pemerintah maupun swasta,” ujar Hermana.

Ungkapnya, pada kesempatan ini Longser Bandoengmooi mencoba mengangkat sepenggal kisah yang terjadi pada masa pendudukan Belanda di tanah Priangan. Cerita yang diusung terinspirasi dari perjalanan hidup seorang perempuan pribumi yang menjadi istri simpanan Eropa atau Nyai-Nyai orang asing berkebangsaan Belanda.

Mastiti adalah seorang gadis asli pribumi yang hidup pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Kecantikannya menjadi gunjingan kaum laki-laki.Tidak sedikit laki-laki pribumi dan Belanda yang menyukainya, tapi dari sekian banyak laki-laki hanya satu perjaka pribumi yang mampu menaklukan hatinya.

Jajang seorang pemuda desa, sosok yang berani menyampaikan rasa cintanya dan mudah mendapat balasan cinta dari Mastiti. Hafid dan Dio mencoba menyingkirkan Jajang agar tidak mendekati Mastiti tapi tidak berhasil.

Hubungan Jajang dan Mastiti kandas ditengah jalan karena Mstiti dipersunting pengusaha kopi Meneer Roby berkebangsaan Belanda. Sebagai mandor perkebunan kopi yan segala kebutuhan hidup keluarganya ditanggung perusahaan Meneer Roby, Abah orang tua Mastiti dengan mudah menyerahkan anak gadisnya menjadi Nyai sang Meneer.

Berbicara soal seni Longser menurut Hermana yang juga alumni ISBI Bandung terbilang memprihatinkan. Longser yang mulai tumbuh sekitar awal tahun 1900-an dan mengalami kejayaan sekitar tahun 1970-1980-an, di era digitalisasi dan budaya asing yang masif mempengaruhi kehidupan masyarakat kita membuat Longser hidup enggan mati tidak mau. Jangankan bentuknya, istilah Longser sudah terbilang asing, tidak tersimpan di memori kaum milenial Tatar Sunda saat ini.

“Meski dalam kondisi seperti itu upaya pelestarian dan pewarisan terus dilakukan, bahkan ada kelompok teater yang membuat festival Longser dan menjadi pesertanya para remaja pelajar SMP dan SMA/SMK,” katanya.

Jelas Hermana, keberadaan Longser saat ini masih diakui, tapi seperti tidak ada. Disebut ada karena dicatat dalam sejarah perkembangan kebudayaan Jawa Barat dan Indonesia. Selain itu ada komunitas dan pelaku budaya yang menghidupkannya. Seperti tidak ada karena sangat jarang dalam satu minggu bahkan sebulan sekali ada pertunjukan seni Longser di gedung kesenian atau di masyarakat.

“Terbilang kurang dukungan dari pemerintah daerah, komunitas teater Toneel Bandung tiap dua tahun menyelenggarakan Festival Longser Remaja. Jika terlaksana, tahun 2023 ini merupakan penyelenggaraan yang kali ke 9. Artinya Festival ini sudah berlangsung selama 18 tahun,” tandasnya.

Lanjut Hermana, pasca festival gairah bermain Longser dikalangan pelajar mengendur lagi, bahkan ada yang langsung berhenti tidak main lagi karena para pelakunya hanya menjadi partisipan musiman. Pertunjukan seni Longser pun kembali sepi. 

“Yang konsisten, menguatkan dayanya dan berusaha menjaga agar api oncor (obor) Longser terus menyala, walau dalam 1 tahun hanya 1 kali gelar pertunjukan. Kami Longser Bandoengmooi melakukan itu. Kami hidupkan Longser dan tidak hidup dari Longser. Tapi kami menyakini Longser bisa membentuk karakter kami atau pelakunya lebih percaya diri dan membawa berkah dalam kehidupan,” tagasnya.

Beberapa tokoh yang masih konsisten bermain Longser dari tahun 1990-an sampai sekarang diantaranya, Agus Injuk, Ki Daus, Junjun, Kudrat, Wawan Aldo, Dikdik, Kodel, Ceu Popon dan lainnya. Mereka adalah pewaris setelah masa keemasan Ateng Japar (Longser Pancawarna) meredup.

“Mereka taman-teman seperjuangan saya dalam menghidupkan seni Longser. Masih suka bermain Longser bersama Bandoengmooi juga komunitas lain walau sekarang mereka lebih fokus dikomedian dan konten kreatif,” jelasnya. 

Entitas seni Longser secara nasional kini telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda (WBTb) dari Provinsi Jawa Barat. Merawat eksistensinya menjadi pekerjaan rumah bersama antara pemerintah daerah, akademisi, komunitas, dunia usaha, media dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan.

“Nasib Longser jangan sekedar ada dalam catatan sejarah seni pertunjukan, tapi Longser harus benar-benar mewujud menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Jawa Barat dan mewarnai khazanah kebudayaan Indonesia,”pungkasnya.**

Similar Articles

Comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Instagram

Most Popular